Seorang
teman saya sangat bangga karena dia bisa mengekspor mebel ke Taiwan dalam
jumlah besar. Saya pernah diajak jalan-jalan ke pabriknya. Dengan muka
berseri-seri, ia menunjukkan tentang proses produksi secara lengkap.
Hebatnya,
satu tahun sebelumnya, ia belum tahu apa-apa tentang mebel. Ceritanya, pada
suatu hari ia bertemu dengan seorang warga Taiwan, yang kemudian mengajarinya
tentang permebelan. Orang Taiwan ini, waktu itu, sedang mengalamai problem
besar. Dulu ia bisa membeli kayu log dari Indonesia, tapi mendadak tidak bisa lagi. Ada larangan ekspor
log dari pemerintah Indonesia. Maka, sebuah kerja sama antara warga Taiwan tadi
dan kawan saya untuk membuat perusahaan mebel itu jadi klop.
Mulai
dari nol sampai mengerti mebel, kawan saya itu diajari oleh orang Taiwan
tersebut. Pembagian kerja antarmereka sederhana saja:
"Kamu
yang bikin, saya yang jual."
"Kamu
punya kayu, saya punya pasar."
"Kamu
untung, saya pun untung."
Kerja
sama seperti ini kelihatan seperti win-win. Bahkan win-win-win. Mengapa?
Pemerintah Indonesia ikut senang: dapaat emplyoment, dapat pajak, dan
sebagainya.
Apa
yang terjadi beberapa tahun kemudian? Ketika saya bertemu kembali dengan teman
tersebut, ia sedang gundah. Ia bercerita panjang lebar bahwa janji muluk-muluk
partnernya tentang passar yang besar ternyata janji kosong.
Secara
legal, ia tidak bisa menuntut apa-apa.. Janji itu tidak tertulis. Susahnya,
pada waktu orang Taiwan itu mengalihkan ordernya kepada orang lain, yang bisa
memberinya produk yang sama dengan harga lebih murah, teman saya hanya bisa
gigit jari. Ia tidak bisa apa-apa karena tidak tahu apa-apa tentang pasar
Taiwan.
Kisah
klasik seperti ini juga sering kita dengar dari orang-orang yang tidak mengerti
tambak tapi ikut ramai-ramai masuk industri tersebut. Setelah melakukan
investasi besar-besaran, janji pembelian bisa hilang begitu saja.
Di
Bandung, pekan lalu, ketika saya berbicara tentang "Strategic Marketing
Plus 2000", ada orang pengusahan garmen mengeluh tentang pasar di Eropa
yang minta produk makin bervariasi dalam jumlah sedikit-sedikit. Ia tidak bisa
melayani permintaan semacam itu, karena tidak mendapat dukungan dari pemasok di
sana. Pabrik tekstil maunya menjual dalam skala besar. Sedangkan ia harus
melayani permintaan dalam skala kecil.
Ketikasaya
tanya lebih lanjut, memang benar, pengusaha ini tidak menjual garmennya ke
Eropa dengan merek sendiri. Bukan cuma brand yang dipunyai pembeli, melainkan
juga desain, warna, dan ukurannya. Jadi, ia benar-benar tukang jahit.
Dari
tiga kasus di atas bisa terlihat bahwa peddler is powerful than tailor (penjaja
lebih berkuasa dari tukang jahit). Mengapa ? Penjaja tahu persis tentang apa
yang diminta konsumen . Ia tahu persis pula
apa yang merupakan jadi value bagi konsumen. Ia bisa mengubah value
tersebut menjdai features, yang harus ada di dalam sebuah produk. Dan tinggal
minta tukang jahit untuk membuat produk
yang ada features seperti itu.
Kalau
permintaan konsumen berubah, penjaja tahu lebih dulu peddlers eat, sleep and
dream with the market. Sedangkan tailors eat, sleep dan dream in the factory.
Itu bedany. Tukang jahit cuma menguasai bagaimana cara membuat, sedangkan
penjaja menguasai lapangan. Walau tukang jahit terus-menerus meningkatkan cara
mereka menjahit sehingga produktivitas makin tinggi, kurang ada gunanya kalu ia tidak tahu produk apa yang sebenarnya disukai
konsumen.
Kisah
pahit dari orang-orang yang berjasa dibalik produk ini memang sudah merupakan
cerita klasik. Tapi ada beberapa orang yang cukup pintar. Ia berjasa dalam
pembuatan suatu produk, tapi tidak mau hanya bersembunyi di balik produk
tersebut. Ia ingin tampil juga ke permukaan. Bahkan akhirnya bisa lebih dominan
ketimbang pemilik produk.
Bayangkan
Nutra Sweet, pemanis buatan untuk orang-orang yang takut pada kalori tinggi.
Nutra Sweet tidak mau bersembunyi dalam produk yang menggunakan jasanya,
melainkan juga tampil ke atas. Kalau Anda minum Diet Coke yang ada Nutra Sweet
di dalamnya juga sadar akan hal tersebut. Mengapa ? Ada logo Nutra Sweet
tercantumg di kaleng Diet Coke. Supaya bisa tampil di situ, Nutra Sweet
memberikan diskon tertentu pada waktu Coca Cola melakukan pembelian.
Yang
lebih hebat lagi adalah Intel. Perusahaan ini adalah pembuat mikroprosesor-
jantung komuter apa saja. Barang inilah yang memproses semua data dan
mengubahanya menjadi informasi. Barang ini pula yang menentukan sebuah komputer
bisa bekerja cepat atau tidak, akurat atau tidak, dan sebagainya. Tahu akan
pentingnya peran yang dipunyai, Intel selalu minta pada perusahaan komputer
mana pun untuk mencatumkan kata Intelinside.
Apa akibatnya?
Aturan
main industri komputer berubah. Dulu, perusahaan hardware yang memegang
komando, dan perusahaan software harus menyesuaikan diri dengan perangkat
keras. Dan merek micro-processor chip tidak pernah dikenal orang. Sekarang
keadaan jadi berbalik. Orang komputer bilang, ada yang disebut Microtel Camp.
Microtel adalah kepanjangan dari Microsoft dan Intel. Komputer apa pun
mereknya, kalau tidak kompatibel dengan program-program Window, akan sulit
dijual. Demikian juga kalu sebuah komputer tidak pakai Intel Chip, orang akan
kurang menghargainya.
Dua
kasus di industri high-tech ini tidak sama dengan kasus sebelumnya. Tapi ada
satu pelajaran yang bisa ditarik. Siapa yang pegang brand, dialah yang lebih
dominan.
Dalam
kasus mebel, tambak, dan garmen, nilai tambah terbesar diambil oleh yang punya
brand dan tahu pasar. Tukang jahit yang hanya tahu produksi, tapi tidak tahu
pasar, cuma mendapat nilai tambah relatif kecil. Margin yang diterima pun
dibatasi oleh yang punya brand dan tahu pasar.
Bagaimana
pula dengan kasus Microtel? Perusahaan pembuat perangkat keras punya brand.
Dulu pembuat perangkat lunak dan chip tidak terlalu sadar akan pentingnya
brand. Maka, persaingan komputer era dulu adalah peperangan antarperangkat
keras.
Al
Ries, dalam percakapannya dengan saya di New York, bulan lalu, mengatakan,
itulah Perang Dunia Komputer. Hasilnya : IBM diserang Apple, HP, Wang, dan
sebagainya. Mainframe lawan PC. Sekarang, kata Ries, industri komputer masuk
Perang Dunia II. Mengapa ? Sekarang bukan perangkat keras lawan perangkat
keras. Juga bukan hanya terjadi perang antara PC, Laptop, dan Palmtop. Lebih
dari itu, IBM dan Apple dipaksa tunduk pada perangkat lunak dan mikroprosesor
tertentu. Itu terjadi setelah Window dan Intel sebagai brand punya equity
tinggi di mata konsumen.
Untuk
memenangkan perang ini, IBM dan Apple, yang dulu musuh bebuyutan, akhirnya
terpaksa bekerja sama dalam sebuah proyek utnuk membuat mikroprosesor yang
nanti akan dipakai bersama. Apa tumon ? Itu memang harus dilakukan.
Perang
kali ini tidak akan mudah dimenangkan oleh kelompok perangkat keras. Baik Bill
Gates maupun Andy Groove terus menerus melakukan inovasi utnuk memperkuat
brand-equity dari Microsoft dan Intel. Windows 95, walaupun masih ditunda, akan
diluncurkan sebagai suatu produk yang hebat. Sedangkan Intel ngotot dapat
Pentium yang, walaupun mengalami beberapa masalah, telah selesai disempurnakan.
Kalau Microtel masih akan terus dominan, maka merekalah yang akan mengambil
bagian margin yang besar.
Ada sebuah perusahaan sepeda Cina, yang dulu
mengekspor sepeda ke Amerrika di bawah brand-name pembeli, sekarang telah
berhasil mengekspor dengan brand sendiri. Pemasarannya dilakukan oleh sebuah
perusahaan distribusi Amerika, yang juga mereka beli. Pada mulanya memang berat.
Tapi sekarang sudah kelihatan hasilnya.
Itulah
kisah " tukang jahit " yang pintar mengubah nasib.


inspiring
ReplyDelete